Mencintaimu dalam diam terlalu lama kubiarkan. Kelindan yang kadang mengembang. Kucari di perpustakaan. Tempat yang paling sendirian. Kadang potongan koran entah darimana kudapatkan. Kutahan tak pernah terucapkan. Tak mau jadi bahan tertawaan. Ketika hujan keabadikan dalam larikan percobaan. Ada yang tertawa kemudian, aku semakin kembali diam.
Rumus-rumus itu lebih banyak melenakan. Hitungan demi hitungan kudaki pelan-pelan. Bahasa matematika, kalimat fisika, deret-deret istilah kimia menjeratku habis-habisan. Tiap malam di bawah lampu minyak tanah kumamah semua. Kukunyah hingga remah-remah. Angka bulat sepuluh tak jarang kudapatkan hadiah. Remajaku penuh corat coret pekerjaan rumah.
Mungkin aku melupakanmu. Tidak, aku tidak pernah melupakan, hanya melewatkan kesempatan. Ajakan teman kuabaikan. Pengelola mading yang budiman. Kuabaikan tanpa alasan. Sedang guru bahasa saja mengacungkan jempolnya. Pada resensi yang kukarang sekenanya. Mbah Danu yang dukun itu. Pura-pura membaca, senyatanya asal bicara. Akupun terpesona. Mencintaimu itu masih kurasakan.
Bergesernya usia tak membuatku melupakanmu. Ilmu-ilmu taksonomi, anatomi, fisiologi, memang membuatku tercekik. Hari-hari dengan nafas berat. Keluar masuk laborat. Pikiran tak karuan. Ijazah di tangan adalah tuntutan. Mundur lebih memalukan. Mohon maaf sebentar engkau kuabaikan.
kampungmanis, 30 April 2020