Sepagi ini setelah melewatkan stasiun kereta api. Hangat sambutan masih seperti dulu. Di beranda bersama-sama ceria. Mungkin akan ada tagihan yang tertunda. Cerita perjalanan atau cukuplah suguhan segelas kopi pahit mungkin juga sepiring cemilan sebelum dipersilahkan rebahan. Bertemu kembali diobrolan makan siang.
Di rantau gerimis akrab menyapa, menerpa genting tanah, bahkan berisik pada spandek selingan dengan angin yang sering bertanding. Orkestrasi sepanjang musim. Tiba-tiba saja atap seng melayang menghadang jalan setelah angin berisik mengganggunya. Atau listrik padam sebagian, mungkin cukup beberapa petak hunian saja. Seperti pernah kualami dulu. Hujan sebagian, hanya berjarak puluhan meter benderang. Berkali-kali kunikmati batas hujan begitu nyata. Kadang juga di depan rumah.
Telah lama kusimpan kisah-kisah di pegunungan. Tanah berdebu melebihi kampung halaman kita. Matahari hanya sekejap berjaga, sebelum lelap didekap kabut yang berkedut. Ah, sedihnya saat kumat alergiku tak tahan dingin juga debu yang selalu mengganggu. Tiada henti menyambangi. Apalagi saat pesta agustusan. Pawai karnaval menebalkan larikan debu yang sedang puncak musimnya. Masih ada juga konon bencana asap bertuba, telah banyak menghilangkan banyak nyawa. Atau juga embun upas yang teramat ditakuti. Kedatangannya adalah merugian besar bagi petani, ketiadaan jadi panen raya. Mudah untuk beli kendaraan baru.
Kisah belajar yang tak banyak untuk diceritakan. Ah, biasa-biasa saja.
What a lovely story and you write so well 🙂
Thanks you
Menyaksikan batas hujan adalah hal yang terasa ganjil, menakjubkan, sekaligus menimbulkan hasrat untuk menemukannya lagi
Ya, sangat menakjubkan. Alhamdulillah sy sering berkesempatan menikmatinya