Wahai diriku di masa sepuluh tahun mendatang.
Apakah yang engkau pikirkan. Masih setia tentang musim yang hanya ada dua di negeri ini, atau terpikirkan musim yang lain entah apa itu namanya. Masih adakah goresan kata-kata yang disebut puisi ataukah sudah pensiun dini. Ah, kenapa pula ada pensiun dini memangnya pegawai negri.
Seperti air mengalir, tak tahu kapan sampai ke muara. Berapapun kelokan yang harus dilalui, selalu ikuti saja. Itulah diriku yang tak banyak menyusun rencana. Masih ingat puisi itu? Kita tak pernah benar-benar merencanakan. Rencana-rencana disusun, kejadian berlangsung belum tentu terhubung. Ini soal pribadi, ingat ya, soal pribadi yang dimaksud tak pernah benar-benar merencanakan.
Masihkah engkau tahan pada godaan angin pegunungan. Mengilik saraf kedinginan berkepanjangan. Mungkin gigil adalah menu tak tergantikan apalagi keseharian hujan tanpa halangan. Belum juga saat kemarau panjang ditambah bediding berkepanjangan serasa matahari tak berarti tetap saja menggigil begini.
Ataukah kegerahan sedang pohon-pohon bertumbangan penebangan makin tak beraturan melebarnya area pembangunan. Tanah tak lagi ramah memberikan remah-remah kesuburan. Karbondioksida menjamah apa saja makin berkuasa musnah pengendalinya makin berkembang produksinya. Oksigen semakin keringkerontangkan berjuta-juta paru-paru berebutan mendapatkannya. Hidung gelagapan menyaring segala macam polusi hasil buangan. Jelaga mengental nyangkut di area penyaringan.
Jika demikian masihkah dapat menuliskan barang satu dua sajak kehidupan, sajak kenangan, sajak perjalanan ataukah mampet bersama keringnya mata air yang jadi rebutan
Sudahlah, tak perlu berkepanjangan. Surat ini kusimpan untuk sepuluh tahun mendatang. Semoga ada umur panjang
Salam
Kampungmanis, 06032020 (pernah tanyang di blog group ikatan kata)
Keren pak
terima kasih