Tinggalkan komentar

Kisah Akhir Masa Mahasiswa

Ketika melihat ulat atau kupu-kupu, mengingatkanku pada suatu masa yang menyebabkan ruangan penuh oleh orang-orang yang penasaran. Diawali nekad seorang diri mengisikan di form kartu rencana studi tanpa bertanya adakah teman yang akan bersama-sama. Toh sebelumnya aku juga pernah sendirian, Ornitologi nama mata kuliahnya. Dosen menugaskanku membuat paper perihal burung, jika tidak mau mundur.

Nama mata kuliah yang cukup keren, Dinamika Populasi Hewan. Aku masuk ruang perkuliahan, ternyata hanya berdua dengan Pak Imam. Beliau sebagai dosen kedua. Demi melihatku sendirian, maka beliau terang-terangan mengundurkan diri dan menyarankanku untuk memilih mundur atau menghadap profesor. Pilihan kedua yang kemudian kulakukan.

Ternyata sang profesor tidaklah seperti yang banyak dibicarakan teman-teman. Aku juga menemukan kesan yang jauh berbeda dengan ketika mendapatkan materi Filsafat Biologi. Suaranya yang menggelegar sepertinya tak ada lagi. Ah mungkin itu karena beda situasi pikirku. Sekarang aku sendirian, kuliah filsafah satu ruangan penuh, di aula lagi. Pesertanya lebih dari seratus orang.

Profesor tidak memberikan penawaran, sebagaimana Pak Imam. Beliau hanya mengatakan karena sendirian maka kuliahnya cukup di kantornya saja. Jadi tiap pekan aku harus masuk ke kantor beliau untuk menerima materi kuliah. Sesuai dengan jamannya secara tasmik langsung.

Keheranan teman-teman seangkatan semakin menjadi ketika aku mengajukan judul skripsi dengan embel-embel mengajukan profesor sebagai pembimbing utama. Banyak teman-teman seangkatan yang ditolak justru diriku malah mengajukan, yang jelas bukan siapa-siapa. Mereka pintar-pintar saja ditolak kenapa aku nekad. Aku cuma senyum saja, biarlah tetap jadi teka-teki.

Persetujuan dari komisi sama persis dengan yang kuajukan, judul maupun pembimbing. Bagian akademik hanya bilang soal judul bisa disesuaikan kemudian dengan dosen pembimbing.

Saat aku menghadap profesor dengan sepucut surat dari komisi skripsi nampak beliau begitu gembira. Selama ini memang beliau selalu menyemangatiku untuk segera mengajukan skripsi dengan jaminan beliau sendiri yang akan menjadi pembimbingnya.

Judulnya cukup keren untuk ukuran mahasiswa biologi, yang sebenarnya sangat biasa bagi mahasiswa hama dan penyakit tanaman. Pola Fluktuasi dan Sebaran Populasi Phthoromea operculella Zeller pada Tanaman Kentang. Dari situ pula aku mengenal bukunya orang Belanda yang bernama Kalshoven, menuliskan Crop Pest in Java.
Ulat kentang yang tak seberapa ukurannya kujadikan obyek penelitian. Cukup datang pekanan ke ladang dengan membolak-balok tanaman kentang maka data itu dengan mudah kudapatkan. Itu adalah bayangan ideal yang begitu gampang.

Rintangan pertama datang adalah ketika Pak Imam, pembimbing kedua mengatakan wajib menghadirkan minimal sepuluh jurnal tentang penelitian sejenis. Saat itu jangankan sepuluh, satu saja kita harus mencari secara offline. Dan dipastikan di kampus sendiri tak akan ditemukan. Nanya teman-teman di pertanian juga tidak ada, ke perpustakaan pusat tidak ada juga. Mencoba peruntungan ke Yogya, Pusat Antar Universitas di Gajah Mada, tidak menemukan apa-apa.

Ditawari teman yang sedang penelitian di Bogor untuk mencoba peluang ke sana. Kuikuti dan hanya mendapatkan satu buku saja. Bukan jurnal, setidaknya buku itulah yang kemudian menuntunku melancong lebih jauh lagi menuju Bandung. Balai Penelitian Tanaman Sayuran di Pangalengan.

Alhamdulillah, ruangannya adem. Dipersilahkan oleh petugas perpustakaan yang ramah untuk mencari yang diperlukan. Setumpuk jurnal kupilah-pilah, lebih dari sepuluh buah. Kendala datang lagi ternyata untuk mengandakannya harus turun ke kota, mungkin sekitar UPI. Dan sudah terlalu siang, para pegawainya juga akan pulang. Sepertinya petugas perpustakaan iba juga melihat betapa jauh telah kutempuh demi jurnal-jurnal itu, maka ditawarkan aku meninggalkan sejumlah uang, beliau yang akan mengurusnya.

Menyusun proposal dipermudah. Pembimbing kedua yang dikenal galak, tapi telaten tidak pernah galak padaku, karena aku tidak pernah membantahnya, tidak tahu bilang tidak tahu, tidak perlu sok tahu. Itulah yang membuat pembimbing terheran-heran.

Sempat ada masalah setelah aku maju koreksian untuk yang keempat kali. Tiba-tiba perutku tidak karuan, yang ternyata itulah pertama kali au merasakan sakit mag. Oleh dokter dikasih obat , mag dan antibiotik. (Oh ya, ada yang terlupakan bahwa sejak semester lima aku telah menjadi juru ketik yang mengharuskan banyak begadang). Beberapa hari kemudian meskipun belum pulih benar aku nekad mulai ngetik lagi (maklum sumber pemasukan). Di sinilah keanehan itu mulai kurasakan. Perasaan melayang itu susah hilangnya, bahkan ketika perlu konsentrasi yang serius malah pusing. Jadilah tidak berani menghadap dosen pembimbing. Bingung juga mau bilang apa ke dosen.

Kejutan luar biasa datang dengan sangat tiba-tiba. Kabar yang sangat terlambat kuketahui. Pembimbing utama yang agak mirip namanya denganku meninggal dunia. Dan aku tak sempat ikut takziah, ya karena terlambat itu tadi.

Hari berikutnya semua mahasiswa bimbingan sang profesor dipanggil oleh Komisi Skripsi. Aku tentu salah satunya. Segera aku datang ke kampus menghadap pembimbing kedua, sedikit dimarahi karena ketinggalan informasi. Dan dikejutkan lagi Pak Imam ternyata juga sedang cuti akan segera berangkat ke Jerman untuk studi S3. Puyengnya makin menjadi.

Kabar melegakan datang dari pembantu dekan bidang akademik yang mengurusi segala surat menyurat. Kebetulan ngobrol santai bersamaku. Beliau mengatakan santai saja surat yang diajukan hanyalah formalitas, pembimbing pengganti sudah kita siapkan. Rasanya lega luar biasa.

Prosedur segera kutempuh sesuai saran pembantu dekan. Dosen pengganti, ternyata juga sudah akrab, meskipun belum pernah ikut kuliahnya, sudah biasa ngobrol santai. Dan lebih melegakan lagi beliau hanya minta waktu satu malam untuk memahami apa yang aku teliti dan selanjutnya kudaftarkan diri untuk ujian seminar.

Saat jadwal seminar dipampang, simpati mulai berdatangan. Dari yang angkatan tua faktor kemiripan nama luar biasa pengaruhnya. Faktor keunikan judul tidak kalah menariknya, membuat penasaran yang lebih muda, terutama yang mendekati masa-masa skripsi.

Seminar mensyaratkan minimal dihadiri 10 mahasiswa untuk bisa di mulai. Ternyata seminarku ditunda beberapa menit bukan karena kekurangan peserta, bahkan kelebihan. Ruang yang dikhususkan untuk seminar itu penuh oleh orang-orang yang penasaran. Penundaan dikarenakan salah satu penguji belum datang. Akhirnya pembimbing memutuskan seminar tetap berlangsung meskipun penguji utama belum datang. Kesimpulan beliau, hukan kesalahan mahasiswa juga bukan kesalahan penyelenggara.

Perjuangan menghitung ulat akhirnya membuahkan hasil diperkenankan memakai gelar sarjana.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

True Love for Sale

by Peach Berman

trozos de mazapán.

cartas o historias pequeñas de amor tan dulces y desmoronables como un mazapán.

HorseAddict

The world is best viewed through the ears of a horse.

Apeka

Meramu, Menulis, lalu dikenang 🌻

DoRee MelNic

Grief Out Loud. Art. And Life.

MYSELF

AS HUMILDES OPINIÕES DE UMA MULHER DE CORAGEM QUE DIZ SIM À VIDA!

Wholly Integrating Spirals

Integrating the spirals to free mind, body, spirit, and soul.

Wolff Poetry Literary Magazine

A Poet's Place | Wolff Poetry Literary Magazine is Publishing Poetry Submitted by Published & Emerging Writers,

Katherine's Blog

In Kate's World

BBYCGN Writing

Truth Via Stories, Quotes, Poetry, Art and More…

Istiqomah, bersabar, dan bersyukurlah selalu... Karena Allah selalu ada bersamamu...

Tersenyumlah,, Allah mencintaimu lebih dari yang kau perlu (Tasaro GK)

%d blogger menyukai ini: