Aku teringat sebuah cerpen yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto. Yang terkenang bukan penulisnya ataupun cerpennya. Tetapi ada kisah tersendiri di balik cerpen ini.
Saat itu masa SMA, guru Bahasa Indonesia memberikan tugas untuk meresensi cerpen yang dibacakan oleh guru. Sesuai dengan kondisi saat itu yang belum ada internet, satu-satunya buku ya yang dipegang oleh Pak Guru. Kita -para murid-, diwajibkan menyimak. Pertemuan berikutnya diminta presentasi di depan kelas, dengan pembagian menjadi empat kelompok, berdasarkan deretan tempat duduk.
Entah bagaimana dengan teman-teman sekelompokku, entah juga aku tak tahu kerja sama di kelompok lain. Yang jelas sampai detik-detik terakhir akan presentasi, belum ada tanda-tanda kesepakatan, atau ada yang menyataan diri siap mewakili. Aku juga tak ambil pusing. Aku punya sedikit catatan.
Tiga kelompok dengan perwakilannya bergiliran presentasi di depan kelas. Pak guru belum ada komentar apa-apa. Giliran kelompokku, aku tengak tengok, taka da yang bergerak, tak ada juga yang sepertinya gelisah. Tak ada pilihan lain, aku juga tak mau malu, akhirnya akulah yang maju dengan membawa catatan seadanya.
Mungkin inilah saat aku tidak jujur kepada Pak Guru maupun teman-teman. Buku kubuka, mata seolah focus membaca, padahal kenyataannya tidak demikian. Aku ngomong saja menurut yang terlintas dalam pikiran, menggabungkan dengan pengetahuan yang pernah kudapatan dengan cerita yang dibacakan oleh Pak Guru di pertemuan sebelumnya. Sangat lancar, seperti bukan diriku yang biasanya kurang pede, bahkan sampai grogi.
Setelah aku kembali ke tempat duduk, barulah Pak Guru memberikan ulasan, satu-satunya kelompok yang disanjung dan dianggap berhasil adalah kelompokku.
Bahkan Pak Guru memberikan semangat bahwa di masa depan aku bisa tumbuh menjadi seorang penulis.
Sepertinya inilah cikal bakal diriku saat ini, yang mencintai sastra yang sudah diprediksi oleh Pak Guru yang mengampu pelajaran Bahasa Indonesia saat di SMA.
Kaitannya dengan Mbah Danu apa? Cerpen yang dibahas kelas saat itu judulnya Mbah Danu, karya Nugroho Notosusanto.
Guru seperti itulah yang selalu dibutuhkan untuk melahirkan generasi yang berkualitas. Karena dukungan dan semangat dari mereka itu ngefek banget ke siswa sampai ia dewasa…
betul sekali, sampai sekarang pun tak pernah terlupakan kata-katanya yang memberikan semangat itu