Tinggalkan komentar

Penanda

Di depan pusara ini banyak peristiwa berputar-putar di kepalaku. Ingatan-ingatan saling berkaitan berkelebat. Kebersamaanku yang kini tidak lagi. Terakhir adalah setahun yang lalu. Itupun aku belum sempat bertemu langsung setelah lama tidak pulang. Yah, aku anak perantauan yang jarang pulang. Kebersamaan yang secara langsung tentu saja jarang kulakukan. Kerinduan pasti ada, hanya saja kewajibanku di perantauan membuatku jarang pulang kampung.

Dua pusara berdekatan. Mempertemukan kembali setelah puluhan tahun terpisah. Masih ingat betul bagaimana kita kehilangan sosok ayah. Saat aku baru awal sekolah. Masih di sekolah dasar. Bisa dibilang masih anak-anak. Kita saling menguatkan, saling menenangkan agar tidak kehilangan pegangan. Kehilangan ayah bukan berarti berhenti menjalani kehidupan.

“Jangan ada tangis di antara kita”, kata ibu saat itu.

“Tapi Bu..!” aku tak bermaksud tidak terima, bukan mau protes, tetapi melihat dan menemukan beberapa pelayat yang begitu terdengar jelas suara tangisnya membuatku tak suka. Kami yang jelas-jelas kehilangan, mereka yang menangis kencang. Aku sendiri berusaha tegar agar tidak sesenggukan.

Ibu paham yang kumaksudkan. Sorot mataku jelas tertangkap arahnya.

“Biarkan nak,”

“Kenapa Bu” jujur saja semakin sesak rasanya ketika diri ini berusaha menahan sesenggukan. Di depan mata disuguhi adegan tangisan terang-terangan. Dan aku tidak mengenal siapa mereka. Sepertinya saudara jauh dari kampung lain. Atau bahkan mungkin bukan sanak saudara.

“Ayahmu bukan hanya kebanggaan bagi kita, tapi banyak orang yang memiliki kenangan kebaikan. Mungkin mereka di antaranya, karena keharuannya tidak bisa menahan rasa kehilangan”.

“Kitalah yang paling kehilangan Bu”.

Sebenarnya aku tak mengerti bagaimana bisa ayahku yang bukan siapa-siapa tapi dikenal banyak orang. Ayahku bukanlah pejabat, bahkan tingkat RT sekalipun. Di masjid juga tak pernah jadi imam shalat ataupun bertugas kutbah. Bahkan ayahku seorang buta huruf arab maupun latin. Maklum ayahku tak pernah merasakan pembelajaran di sekolah.

Ah, dengan lamat-lamat kuingat ayahku yang tak banyak bicara. Adanya kerja dan kerja. Ngurus sawah dalam kesehariannya. Kadang juga sibuk dengan bambu, menganyamnya menjadi lembaran buat alas menjemur padi. Aku sering melihatnya bersama anyaman, tak pernah mengajarkan. Setelah dewasa kurasakan itu bentuk pengajaran dengan contoh langsung. Aku paham dan bisa menganyam karena dulu sering memperhatikan.

Hanya sekali kuingat ayah mengajakku ke pusara adiknya. Bukan mengajak, lebih tepatnya aku yang minta ikut. Kebiasaan di kampung halaman sehari jelang lebaran setelah sembahyang asar sampai jelang azan magrib dikumandangkan. Ziarah ke makam di ujung timur kampung.

“Ini pusara pamanmu, adiknya ayah. Kalau yang tadi itu pusaranya nenek, ibunya ibumu”

“Iya, ayah.”

Hanya itu percakapan yang bisa kuingat tepat di bawah pohon kamboja yang doyong. Sebuah penanda yang mudah untuk diingat. Selama pohon kamboja itu masih ada. Di sela-sela doa yang kami panjatkan dan sedikit bunga yang ayah taburkan.

Bodohnya aku yang tidak menanyakan makam yang lainnya. Di mana makam kedua orang tuanya ayah. Kenapa hanya pusaranya paman yang diberitahukan.

Tanpa kusadari inilah satu-satunya kesempatan aku ikut ziarah. Lebaran tahun berikutnya ayah termasuk yang pusaranya diziarahi. Setelah kehilangan yang pertama kali dalam keluarga kami.   

Kuseka air mata pelan. Meresapi kembali apa-apa yang telah berlalu. Kebersamaan diriku sebagai anak bungsu. Dua pusara di hadapan kubersihkan dari serasah yang banyak berserakan juga beberapa rumput liar kucabut. Dua tanah gundukan kurapikan kembali bentuknya.

Masih kuperturutkan kelebatan ingatan itu kembali, saat-saat masih bersama. Aku si bungsu yang memilih merantau, akibatnya akulah yang paling jarang bersama ibu. Hanya sesekali pulang kampung terutama saat lebaran. Momentum yang paling berkesan, bermakna begitu dalam bagi para perantau tak terkecuali diriku.

Terasa sesak ketika teringat awal-awal pandemi. Rindu yang membuncah tak bisa ditunaikan. Ibu yang sangat sepuh, aku tak bisa bersimpuh di hadapannya. Lebaran yang terasa sangat kurang. Ketatnya aturan kehidupan sosial dan kekhawatiran justru yang beresiko menularkan pada orang tua, terpaksa menahan gejolak kerinduan. Pun demikian ketika kakak menelpon menyampaikan keinginan ibu agar bisa kembali melihat dengan jelas.

“Ibu minta diperiksakan ke dokter mata, tapi kami tak berani mengantarkan dengan kondisi yang demikian..” kakak panjang lebar menceritakan kondisi ibu yang sudah tidak begitu jelas penglihatannya.  Kemauannya untuk sembuh begitu besar, tetapi tidak ada yang berani ambil resiko, pandemi belum juga dinyatakan berlalu. Bahkan sedang tinggi ancamannya.

Akupun tak berani ambil keputusan ataupun saran penyembuhan. Hanya bisa mengiyakan apa yang bisa dilakukan. Sedih memang, tak bisa mengupayakan yang terbaik untuk orang paling disayang, paling dihormati. Sempat juga ada was-was, bagaimana jika berlanjut menjadi permanen. Lagi-lagi hanya bisa pasrah, terutama karena keadaan pandemi yang masih banyak diberitakan.

Menunggu kesempatan, yang kemudian kudapatkan. Pandemi mulai melandai. Aku juga mendapatkan liburan beberapa hari. Kumanfaatkan sebaik-baiknya untuk melepas kerinduan. Bersimpuh dan memeluk ibu dapat kulakukan.  

“Bawa aku ke dokter mata. Penglihatanku hanya lamat-lamat.”

Itulah hal pertama yang ibu sampaikan, ketika aku baru datang.

“Iya Bu. Kuusahakan segera,” jawabku mantap. Memang inilah maksud kepulanganku kali ini. Mengupayakan kesehatan mata ibu. Segera kubicarakan dengan kakak-kakak bagaimana sebaiknya, meski kutekankan jangan sampai ada penolakan. Ibu yang meminta, tak baik kita anak-anaknya menolaknya. Kekawatiran karena usia senja, kutepis begitu saja. Cerita kegagalan, jangan dijadikan pegangan. Semua itu aku yakin bukan halangan.

Lega rasanya bisa mengupayakan keinginan orang tua. Operasi katarak sukses dilakukan. Apa yang dikhawatirkan tentang faktor usia, benar-benar tak jadi halangan. Setidaknya demikian penjelasan dokternya. Keinginan untuk sembuh dari ibu, merupakan faktor utama, selain memasrahkan diri pada kehendak yang kuasa.

Ah, bila mengingatnya ada keharuan menyeruak di dada. Seperti saat ini, di depan dua pusara yang berdampingan. Sebagaimana kejadian setahun yang lalu. Aku di perantuan sempat kepikiran untuk pulang. Melihat sepenuhnya kondisi ibu, yang kabarnya penglihatannya yang sudah cukup jelas. Pasca operasi memang aku tak bisa menunggu sampai hasil akhir.

Belum juga keinginan itu terlaksana, kuterima berita yang mengguncangkan

“Kita sudah sama-sama dewasa. Kita harus ikhlas menerimanya…” suara di seberang saat menelponku selepas isya. Bukan suara kakak, tapi adik sepupu yang sedang berbicara.

Deg. Perasaanku tak tenang. Sepertinya ada sesuatu dengan ibu.   

“Yang sabar mas, memang Bude sudah sangat sepuh. Kita ikhlaskan. Kita rasa memang sudah sampai saatnya….”

“Iya. Kita ikhlaskan,” meski ada sesak juga di dada. “Mau dilanjut ke makam, atau menunggu besok”

“Besok mas, kalau lanjut sudah malam, ga enak sama yang menggali.” 

“Baiklah, aku langsung siap-siap.”

Sebelum benar-benar aku bersiap-siap. Duduk dulu mengatur nafas. Istriku mendekat, sepertinya sudah tahu arah pembicaraanku di telpon tadi. Segera memelukmu memberikan kekuatan.

“Dik, ayo kita pulang…” tak ada kata-kata yang bisa kulanjutkan. Buntu. Ada sesak di dada. Bukan karena tak ikhlas.  

Saat ini, di depan dua pusara ini, aku hanya bisa memberikan ini setelah satu tahun terlewatkan. Sebuah penanda, agar mudah bagi siapa saja yang berziarah. Bisa mengenali ini pusara ayah dan ibu dengan penanda yang kutanamkan. Masing-masing bertuliskan nama ayah dan ibu.

(cerpen sederhana ini telah diikutkan dalam buku Kado Kehidupan terbitan Elfa Mediatama)

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

True Love for Sale

by Peach Berman

trozos de mazapán.

cartas o historias pequeñas de amor tan dulces y desmoronables como un mazapán.

HorseAddict

The world is best viewed through the ears of a horse.

Akhwat Peramu Kata

Meramu, Menulis, lalu dikenang 🌻

DoRee MelNic

Grief Out Loud. Art. And Life.

MYSELF

AS HUMILDES OPINIÕES DE UMA MULHER DE CORAGEM QUE DIZ SIM À VIDA!

Wholly Integrating Spirals

Integrating the spirals to free mind, body, spirit, and soul.

Wolff Poetry Literary Magazine

A Poet's Place | Wolff Poetry Literary Magazine is Publishing Poetry Submitted by Published & Emerging Writers,

Katherine's Blog

In Kate's World

BBYCGN Writing

Creative Writing, Poetry, Short Stories and Art For All Ages

Istiqomah, bersabar, dan bersyukurlah selalu... Karena Allah selalu ada bersamamu...

Tersenyumlah,, Allah mencintaimu lebih dari yang kau perlu (Tasaro GK)

%d blogger menyukai ini: