Era tahun 90-an atau sebelumnya, adalah hal yang umum laki-laki itu rajin tidur di masjid. Khusus bulan Ramadan pesertanya biasanya bertambah.
Kalau sebelum Ramadan tidur di masjid biasanya setelah begadang di perempatan, entah sedang jadwal ronda ataupun bukan, atau setelah bareng-bareng nonton televisi dari rumah bapak kepala desa. Maka, saat bulan Ramadan ada agenda spesial yaitu shalat tarawih yang diikuti oleh semua warga, dari segala usia. Selanjutnya para pemuda mengadakan tadarusan.
Bergantian membaca Al Qur’an yang lainnya menyimak. Menggunakan pengeras suara. Terasa semarak dari masjid dari mushola saling bersahutan suara orang melantunkan ayat-ayat Al Qur’an. Bergantian, tidak ada pola yang pasti kapan digantikan. Saat merasa lelah, atau merasa cukup maka diserahkan pada giliran berikutnya. Demikian sampai tak jarang kembali lagi pada yang tadi sudah melantunkan. Harapannya selama satu bulan bisa berkali-kali mengkatamkan.
Kadang juga ada saja makanan yang dikirimkan oleh warga. Ada air minum yang selalu disediakan. Semakin menambah semangat untuk tadarusan. Ada energi tambahan yang bisa digunakan.
setelah di rasa cukup di malam itu unrtuk tadarusan, maka berikiutnya adalah tidur. Tidak perlu pulang, cukuplah tidur di masjid, sampai saat sahur, saling membangunkan.
Meski sekarang masih ada tadarusan, tapi tradisi tidur di masjid telah hilang.